Malam itu Dwi pulang dan
mendapati ibunya seperti biasa duduk di sofa ruang tamu menunggu anaknya
pulang. Kali ini sudah berkumpul semua anggota keluarga kecil itu. Dwi membuka
daun pintu rumah tanpa salam. Segera dari arah dalam ibunya berseru, “Akhirnya
anak ibu pulang juga..” Dwi melepas sepatunya dengan sangat lambat kemudian
langsung masuk ke kamar dan membantingkan tubuhnya ke tempat tidur. Seperti
biasa pula terdengar teriakan ibunya dari luar pintu kamar,
“Dwi..
Ade.. kalau mau makan ada sup ayam dan sosis goreng tuh, cepat makan mumpung
nasinya masih hangat!”
Dwi hanya diam dan meringis.
Sejak satu jam sebelum pulang kantor tadi ia merasa ada yang tidak beres dengan
perutnya. Mual, melilit. Di kamar itu ada Ade, adik perempuannya yang masih
duduk di bangku SMA . Mereka tidur sekamar sejak kecil bahkan satu tempat
tidur.
“Kak Dwi Jelek.. bawa apa?”,
sebuah pertanyaan rutin dari Ade yang selalu muncul ketika Dwi pulang kerja,
berharap Dwi membawa kue atau buah-buahan untuk camilan sebelum tidur. “Ngga
bawa apa-apa. Kakak sakit perut, ingin tidur.” Jawab Dwi dengan cepat. Ia sudah
tidak tahan karena mual di perutnya
serasa menjalar ke seluruh tubuh membuatnya jadi lemas dan sakit kepala.
“Masuk angin itu, Dwi! Cepat minum obat!” teriak ibunya. Rupanya keluhan
tentang perut tadi terdengar juga oleh ibunya. Dwi hanya ingin merebahkan tubuh
dan atur napas sampai tenang.
Ia mulai berpikir, mungkin saja
sakit perut ini bukan benar-benar sakit perut. Bukan benar-benar mual, tapi muak.
Muak dengan segala macam pekerjaan yang menuntutnya menjadi orang lain. Hari
ini telah berlalu begitu panjang dan berat. Lagi ia merasa tidak sanggup
menjalani pekerjaan yang harus ia hadapi di kantor. Pekerjaan yang selama ini
ia lakoni hanya untuk memenuhi kebutuhan dan membanggakan orang tuanya. Padahal
ia akan merasa bangga kalau suatu saat anaknya berani mengambil keputusan atas
hidupnya sendiri. “Ah..!” pikirannya mulai melatur lagi. “Kapan pula aku punya
anak? Menikah saja belum tentu..” katanya dalam hati.
Ia punya mimpi untuk menjadi
seorang penari. Penari yang berbakat. Yang bisa memancarkan kebahagiaan dan
semangat hidup kepada setiap orang. Setiap gerakan yang ia buat selalu sepenuh
hati dan mengalir dengan indah. Tapi, kenyataannya saat ini ia sedang berbaring
di kasur menunggu matahari terbit dan kembali bekerja di kantor yang memuakkan
itu. Matanya terpejam dan larut dalam tidur.
Beberapa menit kemudian ia
terbangun lagi karena mendengar isak tangis dari adiknya yang berbaring di
sampingnya. Dwi tidak pernah bertanya sebab, atau menenangkan, apalagi membujuk
adiknya saat sedang menangis. Kadang Dwi merasa menyesal telah menjadi kakak
yang tidak peduli terhadap adik kandungnya sendiri. Tapi Dwi dan adiknya
sama-sama mengerti bahwa tangis adalah hal paling jujur dari mereka. Hal yang
tidak bisa ditutupi tapi juga tidak perlu diumbar. Menangis adalah saat paling
penting yang juga harus diresapi, dinikmati, dan dihargai. Dwi hanya diam dan
berpikir, seandainya ia seorang penari, ia bisa menjadi jujur tanpa harus
menangis. Ia pura-pura diam tidak mendengar dan berusaha tidur lagi.
Pagi hari alarm berbunyi
membangunkan Dwi untuk bersiap pergi ke kantor, untuk bekerja lagi. “Untuk
melakukan kebohongan lagi” katanya dalam hati. Kali ini ia tidak langsung
bangkit, ia berpikir untuk membolos. Alasan yang muncul darinya adalah, toh
ke kantor hari ini hatinya tak terbawa. Hatinya selalu tertinggal di panggung
tari. Panggung tempat ia bisa jujur tanpa harus menangis. Sejenak terbersit
keinginan untuk berhenti bekerja, tapi itu hanya akan membuat keadaan semakin
sulit.
Tiba-tiba ia mendengar adiknya
menangis lagi, kali ini lebih keras. Mendengar adiknya menangis, ibunya datang
menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
“Ada
apa?” tanya ibunya.
“Aku
ngga mau sekolah lagi, Bu..”
“Lho,
kenapa?”
“Aku
ngga mau sekolah karena teman-teman di sana selalu ejek aku karena aku
pergi ke sekolah jalan kaki, bukan diantar mobil pribadi yang ada supirnya! Aku
kesal, Bu..” Ibunya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Biarkan
saja mereka. Mereka hanya anak-anak manja. Dan kalau kamu lulus nanti kamu bisa
cepat dapat kerja seperti kakakmu. Dan bisa beli mobil sendiri.”
Dalam hati Dwi meringis, ya
ampun, dia sendiri saja belum bisa beli mobil, pikirnya. Tiba-tiba alarm
berbunyi lagi, tanda tiga puluh menit waktu tersisa sebelum jam masuk kantor.
Dwi benar-benar muak dengan keadaan ini. Ia segera mengirim pesan ke bosnya di
kantor menyatakan bahwa hari ini dia sakit dan tidak bisa masuk kerja. Mual di
perutnya sudah mereda tapi muak di benaknya tidak bisa tertahan.
Dwi pergi ke kamar mandi untuk
menyejukkan tubuh dan kepala dengan air dingin. Ia masih berharap seiring
dengan mengalirnya air di tubuhnya, terbuang juga segala kesulitan hidup yang
ia alami. Tapi kemudian ia selalu sadar bahwa masih banyak kehidupan lain yang
lebih sulit. Sungguh suatu hal yang tidak sesederhana tiupan angin, pikirnya.
Usai mandi Dwi melihat kamar
sudah kosong, tidak ada Ibu, tidak ada Ade. Dwi lalu bertanya kepada Ibu.
“Ade
kemana, Bu?”
“Sekolah.”
Jawab ibunya dengan singkat. Terasa sekali nada berat di suaranya. Sambil terus
mengiris tomat, ibunya tidak sedikitpun menoleh. Dwi tahu, itu karena ibunya
tidak ingin ia melihat kekecewaan di wajah ibunya. Dwi hanya diam setelah itu
dan masuk ke kamar untuk bersiap ke toko kue. Ada kue ulang tahun yang ingin dia
beli.
Sebelum pergi, ia sobekkan
secarik kertas kecil dan mengambil sebuah bolpen dari saku bajunya. Ia menulis
sesuatu di kertas kecil itu dan menaruhnya di atas meja di dekat Ade biasa
duduk melepas sepatunya sepulang sekolah.
Sebuah
catatan kecil yang ditulis seorang kakak perempuan kepada adik perempuannya,
tentang kehidupan.
“Ade, hidup bukan pilihan.Tapi kau masih bisa memilih untuk membahagiakan orang tuamu. Selamat ulang tahun.
Dari Kak Dwi Jelek”