Rabu, 12 Maret 2014

Catatan Kecil Untuk Ade



                Malam itu Dwi pulang dan mendapati ibunya seperti biasa duduk di sofa ruang tamu menunggu anaknya pulang. Kali ini sudah berkumpul semua anggota keluarga kecil itu. Dwi membuka daun pintu rumah tanpa salam. Segera dari arah dalam ibunya berseru, “Akhirnya anak ibu pulang juga..” Dwi melepas sepatunya dengan sangat lambat kemudian langsung masuk ke kamar dan membantingkan tubuhnya ke tempat tidur. Seperti biasa pula terdengar teriakan ibunya dari luar pintu kamar,
“Dwi.. Ade.. kalau mau makan ada sup ayam dan sosis goreng tuh, cepat makan mumpung nasinya masih hangat!”
                Dwi hanya diam dan meringis. Sejak satu jam sebelum pulang kantor tadi ia merasa ada yang tidak beres dengan perutnya. Mual, melilit. Di kamar itu ada Ade, adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMA . Mereka tidur sekamar sejak kecil bahkan satu tempat tidur.
                “Kak Dwi Jelek.. bawa apa?”, sebuah pertanyaan rutin dari Ade yang selalu muncul ketika Dwi pulang kerja, berharap Dwi membawa kue atau buah-buahan untuk camilan sebelum tidur. “Ngga bawa apa-apa. Kakak sakit perut, ingin tidur.” Jawab Dwi dengan cepat. Ia sudah tidak tahan karena mual di perutnya  serasa menjalar ke seluruh tubuh membuatnya jadi lemas dan sakit kepala. “Masuk angin itu, Dwi! Cepat minum obat!” teriak ibunya. Rupanya keluhan tentang perut tadi terdengar juga oleh ibunya. Dwi hanya ingin merebahkan tubuh dan atur napas sampai tenang.
                Ia mulai berpikir, mungkin saja sakit perut ini bukan benar-benar sakit perut. Bukan benar-benar mual, tapi muak. Muak dengan segala macam pekerjaan yang menuntutnya menjadi orang lain. Hari ini telah berlalu begitu panjang dan berat. Lagi ia merasa tidak sanggup menjalani pekerjaan yang harus ia hadapi di kantor. Pekerjaan yang selama ini ia lakoni hanya untuk memenuhi kebutuhan dan membanggakan orang tuanya. Padahal ia akan merasa bangga kalau suatu saat anaknya berani mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. “Ah..!” pikirannya mulai melatur lagi. “Kapan pula aku punya anak? Menikah saja belum tentu..” katanya dalam hati.
                Ia punya mimpi untuk menjadi seorang penari. Penari yang berbakat. Yang bisa memancarkan kebahagiaan dan semangat hidup kepada setiap orang. Setiap gerakan yang ia buat selalu sepenuh hati dan mengalir dengan indah. Tapi, kenyataannya saat ini ia sedang berbaring di kasur menunggu matahari terbit dan kembali bekerja di kantor yang memuakkan itu. Matanya terpejam dan larut dalam tidur.
                Beberapa menit kemudian ia terbangun lagi karena mendengar isak tangis dari adiknya yang berbaring di sampingnya. Dwi tidak pernah bertanya sebab, atau menenangkan, apalagi membujuk adiknya saat sedang menangis. Kadang Dwi merasa menyesal telah menjadi kakak yang tidak peduli terhadap adik kandungnya sendiri. Tapi Dwi dan adiknya sama-sama mengerti bahwa tangis adalah hal paling jujur dari mereka. Hal yang tidak bisa ditutupi tapi juga tidak perlu diumbar. Menangis adalah saat paling penting yang juga harus diresapi, dinikmati, dan dihargai. Dwi hanya diam dan berpikir, seandainya ia seorang penari, ia bisa menjadi jujur tanpa harus menangis. Ia pura-pura diam tidak mendengar dan berusaha tidur lagi.        
                Pagi hari alarm berbunyi membangunkan Dwi untuk bersiap pergi ke kantor, untuk bekerja lagi. “Untuk melakukan kebohongan lagi” katanya dalam hati. Kali ini ia tidak langsung bangkit, ia berpikir untuk membolos. Alasan yang muncul darinya adalah, toh ke kantor hari ini hatinya tak terbawa. Hatinya selalu tertinggal di panggung tari. Panggung tempat ia bisa jujur tanpa harus menangis. Sejenak terbersit keinginan untuk berhenti bekerja, tapi itu hanya akan membuat keadaan semakin sulit.
                Tiba-tiba ia mendengar adiknya menangis lagi, kali ini lebih keras. Mendengar adiknya menangis, ibunya datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa?” tanya ibunya.
“Aku ngga mau sekolah lagi, Bu..”
Lho, kenapa?”
“Aku ngga mau sekolah karena teman-teman di sana selalu ejek aku karena aku pergi ke sekolah jalan kaki, bukan diantar mobil pribadi yang ada supirnya! Aku kesal, Bu..” Ibunya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Biarkan saja mereka. Mereka hanya anak-anak manja. Dan kalau kamu lulus nanti kamu bisa cepat dapat kerja seperti kakakmu. Dan bisa beli mobil sendiri.”
                Dalam hati Dwi meringis, ya ampun, dia sendiri saja belum bisa beli mobil, pikirnya. Tiba-tiba alarm berbunyi lagi, tanda tiga puluh menit waktu tersisa sebelum jam masuk kantor. Dwi benar-benar muak dengan keadaan ini. Ia segera mengirim pesan ke bosnya di kantor menyatakan bahwa hari ini dia sakit dan tidak bisa masuk kerja. Mual di perutnya sudah mereda tapi muak di benaknya tidak bisa tertahan.
                Dwi pergi ke kamar mandi untuk menyejukkan tubuh dan kepala dengan air dingin. Ia masih berharap seiring dengan mengalirnya air di tubuhnya, terbuang juga segala kesulitan hidup yang ia alami. Tapi kemudian ia selalu sadar bahwa masih banyak kehidupan lain yang lebih sulit. Sungguh suatu hal yang tidak sesederhana tiupan angin, pikirnya.
                Usai mandi Dwi melihat kamar sudah kosong, tidak ada Ibu, tidak ada Ade. Dwi lalu bertanya kepada Ibu.
“Ade kemana, Bu?”
“Sekolah.” Jawab ibunya dengan singkat. Terasa sekali nada berat di suaranya. Sambil terus mengiris tomat, ibunya tidak sedikitpun menoleh. Dwi tahu, itu karena ibunya tidak ingin ia melihat kekecewaan di wajah ibunya. Dwi hanya diam setelah itu dan masuk ke kamar untuk bersiap ke toko kue. Ada kue ulang tahun yang ingin dia beli.
                Sebelum pergi, ia sobekkan secarik kertas kecil dan mengambil sebuah bolpen dari saku bajunya. Ia menulis sesuatu di kertas kecil itu dan menaruhnya di atas meja di dekat Ade biasa duduk melepas sepatunya sepulang sekolah.
Sebuah catatan kecil yang ditulis seorang kakak perempuan kepada adik perempuannya, tentang kehidupan.


“Ade, hidup bukan pilihan.Tapi kau masih bisa memilih untuk membahagiakan orang tuamu. Selamat ulang tahun.
Dari Kak Dwi Jelek”


Selasa, 11 Maret 2014

Terimalah, ini untuk kita


Tiba saatnya nanti.

Akan tiba saatnya kita menyesal. Menyesal karena ingin menangis meraung-raung dan meratapi bahwa masa tidak akan kembali lagi. Dan kita hanya bisa menahan.

Tidak akan memberi kita kesempatan untuk tersenyum dan tertawa lagi. Untuk bermain payung di bawah hujan. Untuk berpikir gila dan menggila lagi.

Tiba saatnya kita sulit bahkan untuk menghela napas lega. Kita hanya bisa berusaha diam dan menambal luka di ulu hati. Bagian kosong yang tak 'kan terisi apapun, dan hingga ada titik penghabisan pun masih belum habis.

Menusuk, merambat, menjalar, mengerat seluruh bagian batin. Menggores dengan tinta perak yang menembus lapisan jiwa. Mengoyak setiap sayatan hingga terbuka puncak nyeri tak berkesudahan.

Tiba saat kaki tak 'kan mampu menopang beban benak diri. Saat mata lebih luas dan jelas melihat di balik kelopak. Saat setiap hembus angin yang menyentuh rambut halus di wajahmu selalu membawamu melayang ke sana lagi.
Ke tempat dan saat kau mensia-siakan setiap kedip matamu.
Ke masa saat jiwamu masih berdiri.

Ke masa saat matahari adalah milik kita. Milikmu.


11 Maret 2014 pukul 9:50

Jumat, 28 Februari 2014

Sol Tebal dan Uban Janggut

Tadi sore, saat hujan sedang pura-pura tidak tahu apa-apa. Saat matahari mengalah saja.

Uwi bertemu (tepatnya melihat) seorang muda dengan sepatu yang sama tebal, celana yang sama ketat, rambut yang sama panjang. Bedanya hanya dia laki-laki dan uwi perempuan.
Uwi yakin dia juga melihat uwi, karena kami menyeberang di tiga zebra cross yang sama, menelusuri trotoar yang sama, dan menunggu di halte yang sama.
Dia terlihat tidak nyaman dengan uwi yang (tidak sengaja) menguntit dari belakang.
Mau bagaimana lagi? Jalur kami sama. Tapi wajahnya penuh keresahan. Berlebihan…

Kami menunggu angkot dengan jurusan yang sama di sebuah halte. Dan kami masing-masing bertemu dengan orang yang bisa diajak bicara.
Dia bertemu dengan teman-temannya yang melintas di depan kami dengan sepeda motor.
Uwi berbincang dengan seorang bapak penjual air mineral di halte itu.



Mari lupakan sejenak laki-laki dengan wajah penuh keresahan itu.

Uwi berbincang dengan bapak penjual air mineral tentang hutan kota yang berada di belakang kami.
Katanya banyak penggemar fotografi yang datang ke sana. Ada pula orang-orang yang membuat acara musik. Katanya malam ini juga akan ada.
Nada bicaranya seperti menyuruh uwi datang ke sana..

Kemudian obrolan berlanjut sampai ke kehidupan pribadi masing-masing.
Dia bilang dia sudah punya banyak cucu. Uwi bilang uwi sudah selesai kuliah dan sekarang sedang ingin kerja.
Namun katanya lagi dengan tiba-tiba, “Iyalah.. Enakan kerja dulu, baru nikah.”

Sejenak itu terdengar biasa, tapi setelah beberapa saat mengingat usia uwi yang sudah tidak remaja lagi, itu jadi hal serius. Bukan karena uwi belum juga menikah, tapi karena ternyata pandangan bapak tua ini tidak setua uban di jenggotnya.
Sayang angkot yang tadinya ditunggu akhirnya datang.
Uwi pergi dengan angkot dan melambaikan tangan ke arah si bapak.
Seakan uwi sudah mengenalnya lebih dari sekedar lima menit di bangku halte.
Di angkot, uwi tersenyum. Seperti baru saja usai bertemu kekasih.

Sore yang basah tadi terasa indah. Entah kenapa.


Cukup lama uwi di dalam angkot memperhatikan setiap tetes hujan yang meluncur dari balik kaca jendela.
Selain penumpang yang mengangguk-angguk kepala karena mengantuk, ada embun tebal hasil napas kami penumpang yang melekat di kaca jendela. Bukti bahwa kami hidup.

Tibalah kemudian angkot di tempat tujuan. Uwi meloncat keluar dengan segera.
Payung kesayangan segera dibuka dengan cekatan.
Langkah pertama dibuat.
Air genangan terciprat dengan lincah dari bawah sol sepatu.

Tiba-tiba uwi ingat lagi sol sepatu laki-laki berambut panjang dengan wajah resah itu.
Sepatu kulit cokelat muda dengan sol hitam yang terlihat lebih tebal dari lutut kakinya sendiri.
Dan baru uwi sadari sekarang, dia mempertahankan rokoknya terus menyala di bawah hujan.

Apa dia tetap mempertahankan rokok menyala di bawah hujan?
Apa dia juga sedang mencipratkan genangan hujan dengan sol sepatunya?


28 Februari 2014

Senin, 24 Februari 2014

"Kuangkat rambut tinggi-tinggi"


Pagi ini tidak ada telur dadar. Bahkan tidak segelas air hangat.

Di meja yang dingin itu dia duduk seorang diri.
Oh, dia tidak sendiri, dia bersama untaian lamunan.

Dia memoles kuku di tangannya dengan cat warna coklat.
Dia bisa pilih warna lain yang lebih cerah.
Tapi coklat itu manis, pikirnya.

Itu pasti karena coklat telah bertemu gula dan susu.
Tapi tetap bisa diresapi pahit di dalamnya.

Kukunya kini berwarna coklat. Tapi terus ia poles lagi dengan cat hingga bertumpuk.
Tebal dan pekat.
Mengkilat.
Daging di bawah kukunya hilang tersembunyikan.

Pagi ini ia ingin menyentuh rasa.
Pahit kopi misalnya.
Sayang, hanya ada asam.

Pagi ini tengkuk kurusnya lebih menonjol, melengkung, tertekuk.
Kepalanya seakan menggantung.
Terkulai.
Seperti kuncup bunga yang terlanjur dipetik.
Kering layu.

Keningnya berkerut.
Pangkal tenggorokannya berkata,
"Ini dunia yang tak kau mengerti."

24 Februari 2014 pukul 10:02

Rabu, 19 Februari 2014

Gejala


Aku hampir bosan mengungkap ini. Tapi inilah..

Kau tahu anak panah?
Matanya yang segitiga menusuk dan sulit dicabut.
Semakin kau coba mencabutnya kembali, semakin mengoyak dan berlipat ganda sakitnya.

Ia menusuk ulu hatiku.
Atau mungkin di jantung.
Tapi bisakah kau jelaskan padaku apa nama tempat di dalam dada yang lebih dalam dari semua darah dan tulang itu?
Atau setidaknya bukan panah yang melukaiku, tapi tekanan.
Tekanan akan sebuah sesuatu.
Atau mungkin bisa kau bantu aku mengenai sesuatu itu?

Begini, aku pinjam kata-kata seru dari berbagai sumber untuk menyusun ini cukup lama:

'Di malam yg busuk, aku hanya seorang yang lupa bahwa dalam hidup tidak ada tombol mengulang.
Meski rasanya ingin aku marah dan menguburnya lebih dalam dari mati.
Dan pada itu tiada ampun.'

Sungguh malam yang alot.

19 Februari 2014 pukul 23:16

Minggu, 09 Februari 2014

Buttons of Life


Hai, inilah aku manusia dengan tombol.


Sayangnya padaku hanya ada satu tombol "PLAY/PAUSE" dan satu tombol "LOVE".
Dan lebih disayangkan lagi, tombol-tombol itu hanya menempel tanpa bisa ditekan.
Karena sampai saat ini belum ada reaksi apa-apa, aku tetap bergerak.

Tidak ada saat dimana aku masih belum di "ON"-kan. Atau mungkin "STAND BY" atau "OFF".
Tidak ada lampu atau layar indikator yang bisa mendeteksi status atau kondisiku.

Kukira aneh, karena bahkan tombol "POWER" pun tidak ada.

Baiklah, aku harap minimal tombol "PLAY/PAUSE" itu bisa digunakan suatu saat.
Aku ingin tahu apa yang akan terjadi.





9 Februari 2014 pukul 11:40

Rabu, 29 Januari 2014

Sebuah Kisah

Inilah kisah anak manusia yang benci menjadi dewasa.

Kisah hidup yang terlanjur ditapaki terlalu lama.
Seperti tambang emas yang digali terlalu dalam.

Kisah yang perlu waktu lebih untuk disimak.
Namun pun sangat boleh dibuang begitu saja.

Seorang anak manusia yang merasa sesal sepanjang tarikan napas.
Sesal itu tak pernah punya awal namun telah ikut mengalir dalam urat nadi, apapun sebabnya.

Kisah anak yang ingin pulang namun selalu tersesat.

Ingin kembali ke ujung jalan namun tak pernah ada lagi jalan yang sama untuk kembali.
Pernah ada sebuah tempat yang sangat samar dan terjal, cukup untuk membuatnya ingin kembali.
Kini ia seperti terpaksa pergi ke tempat lain untuk hal tersamar lainnya.

Ia ingin kembali.

Ia takut semakin lama ia tidak tahu jalan pulang.
Pulang ke tempat yang minimal membuatnya merasa ragu dan lega sekaligus.

Ia sudah menutup delapan puluh persen telinganya.
Ia sudah belajar banyak untuk menjadi patung.
Kini ia takut timbul rasa ingin dalam diri untuk menjadi patung selamanya.

Telinganya, telah tertutup hampir seluruhnya.

Ia percaya orang lain tidak mengerti.
Tidak pernah ada rasa mau mengerti.
Tidak mungkin mengerti.
Tidak mungkin dapat merasakan sama.
Tidak pernah ada kata mungkin.

Ini kisah seorang anak manusia yang sudah lelah untuk marah.
Lelah untuk melawan, karena ia adalah lawan.

Ia menjelma sebagai sesosok lawan dalam diri yang suci tanpa musuh.
Ia bukan musuh.

Ia ingin menjadi orang lain, karena lelah berpura-pura menjadi orang lain.

Ini kisah. Kisah sebuah rasa.
Sebuah rasa yang entah. Yang bukan kau, atau dia, atau orang-orang itu yang mengerti.
Tapi ia. Ia yang hanya entah.

Ini kisah anak manusia yang lelah dan ingin pulang.

Ia menanti undangan yang tak kunjung datang.
Ia menanti ajakan yang tak pernah jelang.
Ia menunggu. Menunggu apapun yang dapat ditunggu.
Ia mati dalam sebuah kehidupan.

30 Desember 2013 pukul 20:05

The Scene


Tulisan ini dibuat karena uwi mendapat tantangan untuk membuat skenario. Karena uwi belum tahu bagaimana caranya dan istilah-istilahnya, maka uwi berusaha menuangkan gagasan yang ada di dalam kepala uwi supaya apa yang uwi bayangkan juga bisa dibayangkan oleh setiap orang yang membacanya.
Maka.. Inilah..


Tampak depan tulisan nama sebuah kedai kopi dengan judul “KEDAI KOPI”.
Masuk ke pintu depan tampak pelayan kedai membawa baki kosong lewat melintas di dalam kedai. Pemandangan pertama ada sebuah bar tinggi dari kayu warna coklat gelap hampir hitam dengan plitur matte. Terus berputar ke kanan dan terlihat deretan sofa di dekat dinding dan jendela.
Sofa kedua dari ujung, tepat di samping jendela kaca. Jendelanya besar, dengan kusen warna gelap, kontras dengan warna wallpaper di dinding. Wallpaper dengan gambar biji-biji kopi yang bertaburan dari arah atas kanan. Si tokoh perempuan bersandar ke samping dengan menempelkan bahu kirinya ke tembok. Gambar pada wallpaper seperti biji-biji kopi sungguhan yang akan tumpah berhamburan ke wajahnya. Sofa warna krem kekuningan terbuat dari kulit imitasi yang lapisan terluarnya sudah mengelupas sehingga terasa kasar dan menusuk kulit paha si pemeran perempuan yang mengenakan rok selutut. Meja di depannya cukup besar untuk ukuran meja kopi. Tapi cukup rendah hingga ia tidak bisa menyilangkan kakinya saat duduk. Lututnya akan terantuk pada tepian meja. Meja kayu warna coklat dengan plitur mengkilat yang tak rata. Ada gumpalan plitur di sudut meja yang menyerupai tetesan air beku. Gumpalan itu tidak sadar dipencet-pencet si perempuan sejak tadi karena terasa lucu.
Sudut pandang menjadi fokus ke ujung jari si tokoh perempuan yang memiliki kuku-kuku panjang dan bercat kuku warna muda yang lembut. Berlanjut dengan urat-urat di punggung tangannya yang agak sedikit menonjol menunjukan usia si tokoh perempuan tidak terlalu muda.
Tangan si tokoh perempuan bergerak mendekat ke mug besar berwarna kuning pastel berisi coffee latte dengan busa susu yang sudah habis. Dari ujung tangan beranjak ke sikut dan diteruskan ke bahu. Baju yang dipakainya berlengan sangat pendek, hampir menunjukan ujung lekuk bahunya. Rambutnya hitam asli, mungkin sebahu, tidak telihat jelas karena diikat kucir ke belakang, disisakan hanya bagian depannya sebagai poni yang menutupi setengah bagian keningnya.  Kemudian berlanjut ke mata dan hidungnya dan fokus meluas ke wajah. Si tokoh perempuan pun berkata:
                “Aku lolos seleksi.” Dengan tatapan lurus ke mug yang dipegangnya.  Namun kemudian berpindah ke arah depan, ke arah lawan bicara.
Lawan bicara adalah seorang  laki-laki dengan jaket kulit dan celana jeans. Tapi menyembul dari kerah jaketnya sebuah kerah kemeja bermotif kotak-kotak. Rambutnya berpotongan rapi, tapi tidak ditata sehingga terkesan kusut. Kopi hitam di atas meja di depannya masih penuh, menunjukan ia datang belakangan dibandingkan dengan tokoh perempuan. Laki-laki itu hanya menatap ke arah ponselnya sambil menjawab seperlunya:
                “Oya?” katanya singkat dengan tidak berhenti memainkan ponselnya.
Raut wajah si tokoh perempuan terlihat agak kesal. Tatapan matanya agak sedikit lebih tajam dari sebelumnya. Tapi kemudian terlihat dia berusaha menyembunyikan kekesalannya dengan menampilkan senyum yang dibuat-buat.  Dia berkata lagi:
              “Iya. Minggu depan aku berangkat ke Jogja. Aku pasti selalu kirim foto selama aku di sana. E-mail aku aktifkan terus.” Si tokoh perempuan menunggu respon dari tokoh laki-laki. Tapi karena respon tersebut tidak ada, maka si tokoh perempuan bertanya lagi:
                “Kenapa?”
Tokoh laki-laki menjawab masih dengan nada lurus, dan tangan yang sibuk dengan ponselnya.
                “Kenapa apa?”
Si tokoh perempuan mulai tidak sanggup menyembunyikan  kekesalannya lagi. Dia bertanya dengan tubuh yang agak dicondongkan ke depan.
                “Kenapa.. kok diam terus?”
Tokoh laki-laki masih dengan nada lurus tapi kali ini matanya menatap si tokoh perempuan. Jawabannya tidak jelas dan tidak memuaskan tokoh perempuan.
                “Ya…”
Tidak sabar si tokoh perempuan akhirnya menarik tubuhnya kebelakang dan bersandaran di sandaran sofa. Kali ini tidak miring seperti sebelumnya. Sorot matanya ia pidahkan lagi ke mug besar di tangannya itu. Dia bicara memotong dengan berkata:
                “Besok aku ke kantor pos untuk kirim uang ke rumah ibu. Sebelum berangkat aku kirim uang dua kali lipat. Di Jogja aku akan susah pergi. Katanya di sana tempatku jauh dengan bank.”
Tokoh perempuan menunggu respon dengan tidak sabar yang akhirnya memburu si tokoh laki-laki dengan pertanyaan:
                “Kamu marah?” matanya sekarang tertuju tepat ke mata tokoh laki-laki.
                “Nggak.” Jawab si tokoh laki-laki. Nada bicaranya agak tidak nyaman tapi berusaha untuk menatap balik ke mata si tokoh perempuan.
                “Lalu kenapa?” desak tokoh perempuan.
                Masih dengan tatap yang sama tokoh laki-laki menjawab cepat agar pembicaraan itu tidak menjadi panjang dan berat. Dia bilang, “Nggak kenapa kenapa..”
Dengan cepat tokoh perempuan menarik tubuhnya lagi ke depan sehingga menjadi seperti posisi membungkuk dan dekat dengan cangkir kopi hitam milik tokoh laki-laki. Agak berbisik tapi terdengar jelas untuk tokoh laki-laki. Tokoh perempuan berkata,
                “Aku minta kamu respon aku. Aku bicara terus tapi kamu nggak menanggapi. Wajahmu selalu lurus. Aku jadi nggak tahu apa pendapatmu. Aku mau pergi jauh lho.. lama lagi. Kita akan lama nggak ketemu.”
Masih dalam posisi tadi tokoh perempuan menunggu respon dari tokoh laki-laki. Tak sengaja aroma kopi hitam dari cangkir tokoh laki-laki itu tercium ke hidungnya yang berada sangat dekat.
Kemudian tokoh laki-laki meniru posisi tokoh perempuan. Hidungnya juga hampir menyentuh bibir cangkir kopi hitamnya. Tokoh laki-laki itu berkata dengan raut wajah membujuk agar si tokoh perempuan tidak jadi marah,
                “Ya sudah. Kamu siap-siap sebelum berangkat apa saja yang mau dibawa.” Kata-kata itu diakhiri dengan senyum yang khas yang sudah sangat dikenal oleh tokoh perempuan dan selalu berhasil menggagalkan adegan marah.
Tokoh perempuan menegakkan tubuhnya hingga punggungnya benar-benar lurus. Berkata dengan sikap elegan dia menjaga matanya terjatuh ke kuku di jemari lengan kanannya yang sekarang berada ujung lututnya. Sedangkan tangan kirinya berusaha menarik tepian rok di pahanya yang tadi tidak sengaja tergeser saat tadi ia membungkukan badan. Si tokoh laki-laki pun menarik tubuhnya dan membantingkan punggungnya ke sandaran sofa. Tapi masih dengan raut wajah dan senyum andalannya yang tadi.
Tokoh perempuan berkata dengan cepat,
                “Aku berangkat hari senin. Naik kereta sama-sama Tati. Jam delapan.” Kata-kata itu juga diakhiri senyum simpul malu-malu dari tokoh perempuan.
Mereka terus bertatapan dalam posisi itu.
Tampilan perlahan menjauh menampilkan kedua tokoh tersebut dengan posisi tokoh perempuan di kiri dan tokoh laki-laki di kanan. Kemudian tampilan mendekat secara terus menerus dan akhirnya mencapai posisi fokus di tengah antara tokoh-tokoh tersebut dan menuju ke kaca jendela kedai yang berada di samping mereka.
Fokus terus bergerak hingga seakan-akan menembus kaca jendela kedai.
Kemudian tampilan tiba di luar kedai dan berputar 180 derajat ke arah kanan hingga terlihat kembali kedua tokoh tadi dari luar jendela kedai. Terlihat mereka dengan posisi yang tidak berubah sedang duduk berhadapan di dalam kedai.

Jurus Keni



Jurus Keni
“Pernahkah kau merasa ragu akan keinginanmu sendiri? Begitulah aku saat ini.”
Seru Keni dalam hati saat di malam hari ia merenung sendiri. Sambil tidur terlentang ia menaruh lengannya di atas kening dan memejamkan mata. Itu membuat kepalanya sakit.

“Aku..” katanya dengan suara keras seperti bicara pada orang tak terlihat di sampingnya. “..menginginkan kebebasan”, sambungnya, kali ini suaranya agak berbisik. Kemudian ia berbalik dan tidur menyamping ke arah kanan. Ia membuka matanya. Yang ia lihat hanya tembok bercat putih yang sudah usang penuh dengan bercak lembab. Lampu kamar sudah dipadamkan sejak tadi ia merebahkan tubuh di kasur. Matanya butuh beberapa detik untuk menyesuaikan cahaya minim yang masuk hanya dari celah jendela.

“Aku salah..” katanya lagi saat matanya sudah berkedip sangat perlahan lebih dari tiga kali. “Aku salah dengan keinginan itu. Aku seharusnya bersyukur.” Ia menarik napas dalam dan menahannya.
“Tapi..bagaimana aku bisa yakin bahwa memang itu yang seharusnya aku dapat?” tidak langsung ia hembuskan napas setelah habis kata-kata yang tadi itu. Dengan justru menarik napas lebih dalam lagi kini ia membalikkan tubuhnya dan menyembunyikan tangan di bawah bantal sambil tertelungkup. Kemudian ia lepaskan napas tertahan tadi dalam bantal kapuk yang tidak empuk. Ia tahu bahwa sulit bernapas di dalam bantal. Tapi ia tetap menarik napas berikutnya, namun hidungnya otomatis menolak. Bantal itu sangat apek. Terlebih karena sudah tidak pernah lagi dijemur dan sarung bantal yang entah kapan terakhir diganti.
Ia mengangkat wajah dan menatap beberapa detik ke arah bantal itu, cukup untuk membuat sang bantal merasa kikuk.
Kini ia menatap ke depan sambil masih tertelungkup. Tembok yang sama yang ia temui di sana. Hanya saja sisi yang lain. Ia tarik lagi napas dalam, sedalam-dalamnya sampai dadanya penuh, dan menyemburkannya dengan pipi dikembungkan seperti ingin meniup awan. Sayangnya ia tidak berada di langit. Tembok putih usang di hadapannnya seperti bilang, “Sadarlah, nak..”
Ia tatap lagi tembok itu dan mengkhayal bentuk-bentuk aneh dari rembesan air lembab yg menimbulkan garis-garis sembarang dan bau dingin.
Tak lama setelah itu ia bantingkan kepala ke arah samping sehingga pipi dan telinganya bisa merasakan dingin apek dari kapuk bantal. Bau dingin semerbak menyentuh hidungnya lagi. Matanya terpejam tanpa disadari. Dan hitam kini sudah penuh di kelopak matanya, di kepalanya, di otaknya. Mungkin juga di dirinya. Ia tidur. Entah pulas entah tidak.
Ia tidak ingat apa-apa lagi. Kecuali tiba-tiba ia mendengar suara jam alarm berbunyi dan ia bangkit dan pergi ke kamar mandi. Satu jam lagi ia harus berada di kantor.

Terima kasih, Hujan..


Ketahuilah sayang, pipiku merah malam ini.

Bukan karena tersipu atau marah.

Bukan juga karena degup jantung yang terasa lebih kencang.

Mungkin karena malam ini aku dapat nilai 75 dari bulan untuk pelajaran senyum.

Akan ku katakan pada teman-temanku, bahwa mereka hanya perlu itu untuk tidur nyenyak malam ini.

Ssst.. Bulan selalu memberi nilai yang tinggi di atas sana..

:)



8 Januari 2014 pukul 22:39

This Night is Yours


            Malam ini ia kencangkan kuat-kuat tali sepatu bootnya, sekuat ia menahan rembesan air yang memberat di pelupuk mata. Air yang tidak sabar meluncur menuju pipi dan pelipis. Ia peluk pria yang disayanginya dari belakang dengan tenaga penuh seperti takut dilempar dari sepeda motor yang mereka tunggangi.
            Ia bilang, “Malam ini, maukah kita duduk sambil makan sup atau teh hangat sebelum pulang?” Pria itu menjawab, “Baiklah, sebentar saja, kau perlu istirahat.”
            Tibalah mereka di sebuah kedai langganan yang sering mereka jadikan pelarian dari penatnya pekerjaan, seperti saat ini.
            “Kau ingin bercerita sesuatu?” Pria itu sudah bisa membaca isi kepala gadis tercintanya.
“Aku..tidak. Aku hanya lelah.” Pria itu terus memandangi si gadis tanda ia tahu bahwa jawaban itu bukan yang sebenarnya.
            “Aku tidak bisa terus bertahan di tempat itu. Aku selalu salah di mata mereka. Jika aku menjelaskan yang sesungguhnya, keadaan akan berbalik, dan aku tetap salah bahkan semakin salah. Aku tahu aku tidak mungkin selalu mendapat pengecualian, tapi mereka seolah menganggap aku robot yang siap pakai.
            Apa aku memang lemah dan lamban? Begini, aku tahu ini bukan benar-benar bidangku, tapi aku juga pasti bisa jika belajar dan dibimbing. Tahukah kau bagaimana cara mereka membimbingku? Ah..!
            Aku yakin mereka tak sepandai kelihatannya. Mereka hanya pandai bertingkah seolah pintar, berulah seolah benar. Apa yang mereka tahu itu tidak mereka cerna dengan baik secara pintar yang sebenarnya. Mereka hanya meniru, menyalin, membuntuti. Mereka menelan mentah-mentah apa yang didengar dan dilihatnya. Mereka lebih percaya pada mata. Padahal jika mereka sadari, mata adalah jalan paling baik menuju kepura-puraan.
            Mereka pandai dan ahli menjadi mesin. Mesin yang hanya menjalankan perintah sesuai setelan dan siap rusak kapanpun jika sudah usang, atau kapanpun jika dirusakkan, jika dihancurkan. Karena mereka mati.
            Berada bersama mereka aku harus mau membodohi diri sendiri dengan hal-hal konyol yang aku tahu menggelikan. Kecuali aku rela menjadi kerbau yang ditutup matanya saat menggiling tebu. Temanku benar, dengan berada di sana bersama mereka maka kita berangsur menjelma sebagai zombie, mayat hidup.
            Pilihanku sekarang ada tiga, pertama; menjadi mayat hidup dan kaya raya, kedua; menyerah dan cari malapetaka baru di tempat lain, atau ketiga; tetap menjadi diri sendiri di dalam neraka itu.
            Ya..ya.. aku sadari kenyataan memang tidak sejalan dengan keinginan kita. Lalu aku harus bagaimana? Jika semua keluhan selalu diakhiri dengan, ‘yah, itulah kenyataannya’, maka kita seperti diam di tengah pasir isap menunggu tenggelam selamanya..”
            Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Tatapan si pria masih pada tempatnya dan tidak berpindah sejak tadi. Kemudian ia berkata seraya tersenyum teduh.
“Sudah?”
“Sudah.” Jawab si gadis bersepatu boot itu dengan mata berkaca-kaca.
“Sekarang ayo kita pulang.”
Dan sepeda motor pun melaju lagi menembus angin malam yang terasa sejuk dan segar.

19 January 2014
23:30

Sejumput Ruang

Sejumput Ruang


Ini masa dimana aku tidak perlu lagi bicara tentang hidup.
Saat dimana aku hanya perlu diam dan menyaksikan.

Kita bersama namun tidak harus sama.

Pagi seolah sama di atas kepala, dan kau abaikan. Atau mungkin aku abaikan.
Namun bukankah lembayung yang sangat singkat itu lebih merona? Lebih menawan.

Ini bukan tentang pilihan.
Ini tentang kenyataan bahwa kita masing-masing punya hak mengatupkan bibir tak bersuara.

Aku katakan itu ruang. Sejumput ruang.

Sederhana, karena aku suka kata 'sejumput'.




25 Januari 2014 pukul 15:06

Girl With Pink Soled Boot



Girl With Pink Soled Boot

            Aku bertemu seorang gadis. Atau boleh disebut wanita muda hampir tua, atau sebut saja perempuan. Ia punya teman baru, sebuah rutinitas memuakkan yang memaksanya menjelma sebagai robot. Selain itu ia juga punya teman baru, sepasang sepatu boot hitam bersol merah muda. Ia biasa mengenakan sepatu boot itu hanya pada saatpergi atau pulang dari tempatnya bekerja. Itu menyakitkan. Karena selain sandal jepit, kakinya hanya akrab dengan boot. Dan ketika ia harus menghabiskan hari bersama pantopel bertumit runcing, rasanya menyedihkan.
            Sedih karena bukan hanya kaki, tapi tangan, punggung, bahu, pinggul, bibirnya, matanya bicaranya, bahkan mungkin otaknya, sudah bukan miliknya lagi. Kecuali hatinya yang mungkin akan segera menyusul juga.
            Ia menyesal. Menyesal karena telah berpikir dengan caranya sendiri, bukan seperti cara berpikir orang lain yang hidup di sekitarnya. Ia menyesal karena bukan dunia yang menguasai diri atau diri yang menguasai dunia, tapi diri yang menguasai diri. Padahal ia pun masih ragu tentang kekuasaan atas diri itu.
            Ia pikir tidak mungkin manusia berkuasa. Manusia tidak mungkin menjadi teratas. Manusia hanya seonggok massa yang tiba-tiba bisa bergerak. Sayangnya tidak hanya tubuh yang bergerak, tapi otak dan hatinya juga. Itu yang ia pikir membuat semuanya jadi sulit. Ia ingin berhenti. Berhenti dari semua yang ia pikir berat. Berhenti dari semua hal yang selalu membuat kelopak matanya tertutup dalam langkah. Bibir terkatup dalam nyanyian. Ia ingin bebas dari kebebasan itu.
            Ia pikir, ia tidak perlu berpikir. Tapi belakangan ia sadari itupun ternyata sebuah kegiatan berpikir.  Akhirnya ia ingin berhenti menjadi seonggok massa yang bergerak. Namun ia sadari perubahan tidak selalu mudah. Ia tidak tahu lagi harus apa.
            Pagi ini ia raih lagi boot bersol merah muda dan menyikatnya dengan semir. Ia pikir, “Ah.. Baiklah, aku berpikir. Aku pikir aku harus menyikat sepatu boot-ku setiap hari. Setiap akan berangkat ke tempat kerja.”
            Terakhir aku melihatnya duduk sendiri memandangi sudut tembok. Setelah aku perhatikan, ternyata ia sedang mengamati seekor laba-laba yang sangat kecil tengah menjerat mangsanya. Ku kira.. mangsanya seekor semut.
            Maaf, sebenarnya aku juga tidak mengerti tentang gadis itu. Maaf ya.
19 Jan ‘14