Rabu, 29 Januari 2014

Jurus Keni



Jurus Keni
“Pernahkah kau merasa ragu akan keinginanmu sendiri? Begitulah aku saat ini.”
Seru Keni dalam hati saat di malam hari ia merenung sendiri. Sambil tidur terlentang ia menaruh lengannya di atas kening dan memejamkan mata. Itu membuat kepalanya sakit.

“Aku..” katanya dengan suara keras seperti bicara pada orang tak terlihat di sampingnya. “..menginginkan kebebasan”, sambungnya, kali ini suaranya agak berbisik. Kemudian ia berbalik dan tidur menyamping ke arah kanan. Ia membuka matanya. Yang ia lihat hanya tembok bercat putih yang sudah usang penuh dengan bercak lembab. Lampu kamar sudah dipadamkan sejak tadi ia merebahkan tubuh di kasur. Matanya butuh beberapa detik untuk menyesuaikan cahaya minim yang masuk hanya dari celah jendela.

“Aku salah..” katanya lagi saat matanya sudah berkedip sangat perlahan lebih dari tiga kali. “Aku salah dengan keinginan itu. Aku seharusnya bersyukur.” Ia menarik napas dalam dan menahannya.
“Tapi..bagaimana aku bisa yakin bahwa memang itu yang seharusnya aku dapat?” tidak langsung ia hembuskan napas setelah habis kata-kata yang tadi itu. Dengan justru menarik napas lebih dalam lagi kini ia membalikkan tubuhnya dan menyembunyikan tangan di bawah bantal sambil tertelungkup. Kemudian ia lepaskan napas tertahan tadi dalam bantal kapuk yang tidak empuk. Ia tahu bahwa sulit bernapas di dalam bantal. Tapi ia tetap menarik napas berikutnya, namun hidungnya otomatis menolak. Bantal itu sangat apek. Terlebih karena sudah tidak pernah lagi dijemur dan sarung bantal yang entah kapan terakhir diganti.
Ia mengangkat wajah dan menatap beberapa detik ke arah bantal itu, cukup untuk membuat sang bantal merasa kikuk.
Kini ia menatap ke depan sambil masih tertelungkup. Tembok yang sama yang ia temui di sana. Hanya saja sisi yang lain. Ia tarik lagi napas dalam, sedalam-dalamnya sampai dadanya penuh, dan menyemburkannya dengan pipi dikembungkan seperti ingin meniup awan. Sayangnya ia tidak berada di langit. Tembok putih usang di hadapannnya seperti bilang, “Sadarlah, nak..”
Ia tatap lagi tembok itu dan mengkhayal bentuk-bentuk aneh dari rembesan air lembab yg menimbulkan garis-garis sembarang dan bau dingin.
Tak lama setelah itu ia bantingkan kepala ke arah samping sehingga pipi dan telinganya bisa merasakan dingin apek dari kapuk bantal. Bau dingin semerbak menyentuh hidungnya lagi. Matanya terpejam tanpa disadari. Dan hitam kini sudah penuh di kelopak matanya, di kepalanya, di otaknya. Mungkin juga di dirinya. Ia tidur. Entah pulas entah tidak.
Ia tidak ingat apa-apa lagi. Kecuali tiba-tiba ia mendengar suara jam alarm berbunyi dan ia bangkit dan pergi ke kamar mandi. Satu jam lagi ia harus berada di kantor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar