Rabu, 29 Januari 2014

The Scene


Tulisan ini dibuat karena uwi mendapat tantangan untuk membuat skenario. Karena uwi belum tahu bagaimana caranya dan istilah-istilahnya, maka uwi berusaha menuangkan gagasan yang ada di dalam kepala uwi supaya apa yang uwi bayangkan juga bisa dibayangkan oleh setiap orang yang membacanya.
Maka.. Inilah..


Tampak depan tulisan nama sebuah kedai kopi dengan judul “KEDAI KOPI”.
Masuk ke pintu depan tampak pelayan kedai membawa baki kosong lewat melintas di dalam kedai. Pemandangan pertama ada sebuah bar tinggi dari kayu warna coklat gelap hampir hitam dengan plitur matte. Terus berputar ke kanan dan terlihat deretan sofa di dekat dinding dan jendela.
Sofa kedua dari ujung, tepat di samping jendela kaca. Jendelanya besar, dengan kusen warna gelap, kontras dengan warna wallpaper di dinding. Wallpaper dengan gambar biji-biji kopi yang bertaburan dari arah atas kanan. Si tokoh perempuan bersandar ke samping dengan menempelkan bahu kirinya ke tembok. Gambar pada wallpaper seperti biji-biji kopi sungguhan yang akan tumpah berhamburan ke wajahnya. Sofa warna krem kekuningan terbuat dari kulit imitasi yang lapisan terluarnya sudah mengelupas sehingga terasa kasar dan menusuk kulit paha si pemeran perempuan yang mengenakan rok selutut. Meja di depannya cukup besar untuk ukuran meja kopi. Tapi cukup rendah hingga ia tidak bisa menyilangkan kakinya saat duduk. Lututnya akan terantuk pada tepian meja. Meja kayu warna coklat dengan plitur mengkilat yang tak rata. Ada gumpalan plitur di sudut meja yang menyerupai tetesan air beku. Gumpalan itu tidak sadar dipencet-pencet si perempuan sejak tadi karena terasa lucu.
Sudut pandang menjadi fokus ke ujung jari si tokoh perempuan yang memiliki kuku-kuku panjang dan bercat kuku warna muda yang lembut. Berlanjut dengan urat-urat di punggung tangannya yang agak sedikit menonjol menunjukan usia si tokoh perempuan tidak terlalu muda.
Tangan si tokoh perempuan bergerak mendekat ke mug besar berwarna kuning pastel berisi coffee latte dengan busa susu yang sudah habis. Dari ujung tangan beranjak ke sikut dan diteruskan ke bahu. Baju yang dipakainya berlengan sangat pendek, hampir menunjukan ujung lekuk bahunya. Rambutnya hitam asli, mungkin sebahu, tidak telihat jelas karena diikat kucir ke belakang, disisakan hanya bagian depannya sebagai poni yang menutupi setengah bagian keningnya.  Kemudian berlanjut ke mata dan hidungnya dan fokus meluas ke wajah. Si tokoh perempuan pun berkata:
                “Aku lolos seleksi.” Dengan tatapan lurus ke mug yang dipegangnya.  Namun kemudian berpindah ke arah depan, ke arah lawan bicara.
Lawan bicara adalah seorang  laki-laki dengan jaket kulit dan celana jeans. Tapi menyembul dari kerah jaketnya sebuah kerah kemeja bermotif kotak-kotak. Rambutnya berpotongan rapi, tapi tidak ditata sehingga terkesan kusut. Kopi hitam di atas meja di depannya masih penuh, menunjukan ia datang belakangan dibandingkan dengan tokoh perempuan. Laki-laki itu hanya menatap ke arah ponselnya sambil menjawab seperlunya:
                “Oya?” katanya singkat dengan tidak berhenti memainkan ponselnya.
Raut wajah si tokoh perempuan terlihat agak kesal. Tatapan matanya agak sedikit lebih tajam dari sebelumnya. Tapi kemudian terlihat dia berusaha menyembunyikan kekesalannya dengan menampilkan senyum yang dibuat-buat.  Dia berkata lagi:
              “Iya. Minggu depan aku berangkat ke Jogja. Aku pasti selalu kirim foto selama aku di sana. E-mail aku aktifkan terus.” Si tokoh perempuan menunggu respon dari tokoh laki-laki. Tapi karena respon tersebut tidak ada, maka si tokoh perempuan bertanya lagi:
                “Kenapa?”
Tokoh laki-laki menjawab masih dengan nada lurus, dan tangan yang sibuk dengan ponselnya.
                “Kenapa apa?”
Si tokoh perempuan mulai tidak sanggup menyembunyikan  kekesalannya lagi. Dia bertanya dengan tubuh yang agak dicondongkan ke depan.
                “Kenapa.. kok diam terus?”
Tokoh laki-laki masih dengan nada lurus tapi kali ini matanya menatap si tokoh perempuan. Jawabannya tidak jelas dan tidak memuaskan tokoh perempuan.
                “Ya…”
Tidak sabar si tokoh perempuan akhirnya menarik tubuhnya kebelakang dan bersandaran di sandaran sofa. Kali ini tidak miring seperti sebelumnya. Sorot matanya ia pidahkan lagi ke mug besar di tangannya itu. Dia bicara memotong dengan berkata:
                “Besok aku ke kantor pos untuk kirim uang ke rumah ibu. Sebelum berangkat aku kirim uang dua kali lipat. Di Jogja aku akan susah pergi. Katanya di sana tempatku jauh dengan bank.”
Tokoh perempuan menunggu respon dengan tidak sabar yang akhirnya memburu si tokoh laki-laki dengan pertanyaan:
                “Kamu marah?” matanya sekarang tertuju tepat ke mata tokoh laki-laki.
                “Nggak.” Jawab si tokoh laki-laki. Nada bicaranya agak tidak nyaman tapi berusaha untuk menatap balik ke mata si tokoh perempuan.
                “Lalu kenapa?” desak tokoh perempuan.
                Masih dengan tatap yang sama tokoh laki-laki menjawab cepat agar pembicaraan itu tidak menjadi panjang dan berat. Dia bilang, “Nggak kenapa kenapa..”
Dengan cepat tokoh perempuan menarik tubuhnya lagi ke depan sehingga menjadi seperti posisi membungkuk dan dekat dengan cangkir kopi hitam milik tokoh laki-laki. Agak berbisik tapi terdengar jelas untuk tokoh laki-laki. Tokoh perempuan berkata,
                “Aku minta kamu respon aku. Aku bicara terus tapi kamu nggak menanggapi. Wajahmu selalu lurus. Aku jadi nggak tahu apa pendapatmu. Aku mau pergi jauh lho.. lama lagi. Kita akan lama nggak ketemu.”
Masih dalam posisi tadi tokoh perempuan menunggu respon dari tokoh laki-laki. Tak sengaja aroma kopi hitam dari cangkir tokoh laki-laki itu tercium ke hidungnya yang berada sangat dekat.
Kemudian tokoh laki-laki meniru posisi tokoh perempuan. Hidungnya juga hampir menyentuh bibir cangkir kopi hitamnya. Tokoh laki-laki itu berkata dengan raut wajah membujuk agar si tokoh perempuan tidak jadi marah,
                “Ya sudah. Kamu siap-siap sebelum berangkat apa saja yang mau dibawa.” Kata-kata itu diakhiri dengan senyum yang khas yang sudah sangat dikenal oleh tokoh perempuan dan selalu berhasil menggagalkan adegan marah.
Tokoh perempuan menegakkan tubuhnya hingga punggungnya benar-benar lurus. Berkata dengan sikap elegan dia menjaga matanya terjatuh ke kuku di jemari lengan kanannya yang sekarang berada ujung lututnya. Sedangkan tangan kirinya berusaha menarik tepian rok di pahanya yang tadi tidak sengaja tergeser saat tadi ia membungkukan badan. Si tokoh laki-laki pun menarik tubuhnya dan membantingkan punggungnya ke sandaran sofa. Tapi masih dengan raut wajah dan senyum andalannya yang tadi.
Tokoh perempuan berkata dengan cepat,
                “Aku berangkat hari senin. Naik kereta sama-sama Tati. Jam delapan.” Kata-kata itu juga diakhiri senyum simpul malu-malu dari tokoh perempuan.
Mereka terus bertatapan dalam posisi itu.
Tampilan perlahan menjauh menampilkan kedua tokoh tersebut dengan posisi tokoh perempuan di kiri dan tokoh laki-laki di kanan. Kemudian tampilan mendekat secara terus menerus dan akhirnya mencapai posisi fokus di tengah antara tokoh-tokoh tersebut dan menuju ke kaca jendela kedai yang berada di samping mereka.
Fokus terus bergerak hingga seakan-akan menembus kaca jendela kedai.
Kemudian tampilan tiba di luar kedai dan berputar 180 derajat ke arah kanan hingga terlihat kembali kedua tokoh tadi dari luar jendela kedai. Terlihat mereka dengan posisi yang tidak berubah sedang duduk berhadapan di dalam kedai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar