Rabu, 29 Januari 2014

Sebuah Kisah

Inilah kisah anak manusia yang benci menjadi dewasa.

Kisah hidup yang terlanjur ditapaki terlalu lama.
Seperti tambang emas yang digali terlalu dalam.

Kisah yang perlu waktu lebih untuk disimak.
Namun pun sangat boleh dibuang begitu saja.

Seorang anak manusia yang merasa sesal sepanjang tarikan napas.
Sesal itu tak pernah punya awal namun telah ikut mengalir dalam urat nadi, apapun sebabnya.

Kisah anak yang ingin pulang namun selalu tersesat.

Ingin kembali ke ujung jalan namun tak pernah ada lagi jalan yang sama untuk kembali.
Pernah ada sebuah tempat yang sangat samar dan terjal, cukup untuk membuatnya ingin kembali.
Kini ia seperti terpaksa pergi ke tempat lain untuk hal tersamar lainnya.

Ia ingin kembali.

Ia takut semakin lama ia tidak tahu jalan pulang.
Pulang ke tempat yang minimal membuatnya merasa ragu dan lega sekaligus.

Ia sudah menutup delapan puluh persen telinganya.
Ia sudah belajar banyak untuk menjadi patung.
Kini ia takut timbul rasa ingin dalam diri untuk menjadi patung selamanya.

Telinganya, telah tertutup hampir seluruhnya.

Ia percaya orang lain tidak mengerti.
Tidak pernah ada rasa mau mengerti.
Tidak mungkin mengerti.
Tidak mungkin dapat merasakan sama.
Tidak pernah ada kata mungkin.

Ini kisah seorang anak manusia yang sudah lelah untuk marah.
Lelah untuk melawan, karena ia adalah lawan.

Ia menjelma sebagai sesosok lawan dalam diri yang suci tanpa musuh.
Ia bukan musuh.

Ia ingin menjadi orang lain, karena lelah berpura-pura menjadi orang lain.

Ini kisah. Kisah sebuah rasa.
Sebuah rasa yang entah. Yang bukan kau, atau dia, atau orang-orang itu yang mengerti.
Tapi ia. Ia yang hanya entah.

Ini kisah anak manusia yang lelah dan ingin pulang.

Ia menanti undangan yang tak kunjung datang.
Ia menanti ajakan yang tak pernah jelang.
Ia menunggu. Menunggu apapun yang dapat ditunggu.
Ia mati dalam sebuah kehidupan.

30 Desember 2013 pukul 20:05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar