Rabu, 29 Januari 2014

This Night is Yours


            Malam ini ia kencangkan kuat-kuat tali sepatu bootnya, sekuat ia menahan rembesan air yang memberat di pelupuk mata. Air yang tidak sabar meluncur menuju pipi dan pelipis. Ia peluk pria yang disayanginya dari belakang dengan tenaga penuh seperti takut dilempar dari sepeda motor yang mereka tunggangi.
            Ia bilang, “Malam ini, maukah kita duduk sambil makan sup atau teh hangat sebelum pulang?” Pria itu menjawab, “Baiklah, sebentar saja, kau perlu istirahat.”
            Tibalah mereka di sebuah kedai langganan yang sering mereka jadikan pelarian dari penatnya pekerjaan, seperti saat ini.
            “Kau ingin bercerita sesuatu?” Pria itu sudah bisa membaca isi kepala gadis tercintanya.
“Aku..tidak. Aku hanya lelah.” Pria itu terus memandangi si gadis tanda ia tahu bahwa jawaban itu bukan yang sebenarnya.
            “Aku tidak bisa terus bertahan di tempat itu. Aku selalu salah di mata mereka. Jika aku menjelaskan yang sesungguhnya, keadaan akan berbalik, dan aku tetap salah bahkan semakin salah. Aku tahu aku tidak mungkin selalu mendapat pengecualian, tapi mereka seolah menganggap aku robot yang siap pakai.
            Apa aku memang lemah dan lamban? Begini, aku tahu ini bukan benar-benar bidangku, tapi aku juga pasti bisa jika belajar dan dibimbing. Tahukah kau bagaimana cara mereka membimbingku? Ah..!
            Aku yakin mereka tak sepandai kelihatannya. Mereka hanya pandai bertingkah seolah pintar, berulah seolah benar. Apa yang mereka tahu itu tidak mereka cerna dengan baik secara pintar yang sebenarnya. Mereka hanya meniru, menyalin, membuntuti. Mereka menelan mentah-mentah apa yang didengar dan dilihatnya. Mereka lebih percaya pada mata. Padahal jika mereka sadari, mata adalah jalan paling baik menuju kepura-puraan.
            Mereka pandai dan ahli menjadi mesin. Mesin yang hanya menjalankan perintah sesuai setelan dan siap rusak kapanpun jika sudah usang, atau kapanpun jika dirusakkan, jika dihancurkan. Karena mereka mati.
            Berada bersama mereka aku harus mau membodohi diri sendiri dengan hal-hal konyol yang aku tahu menggelikan. Kecuali aku rela menjadi kerbau yang ditutup matanya saat menggiling tebu. Temanku benar, dengan berada di sana bersama mereka maka kita berangsur menjelma sebagai zombie, mayat hidup.
            Pilihanku sekarang ada tiga, pertama; menjadi mayat hidup dan kaya raya, kedua; menyerah dan cari malapetaka baru di tempat lain, atau ketiga; tetap menjadi diri sendiri di dalam neraka itu.
            Ya..ya.. aku sadari kenyataan memang tidak sejalan dengan keinginan kita. Lalu aku harus bagaimana? Jika semua keluhan selalu diakhiri dengan, ‘yah, itulah kenyataannya’, maka kita seperti diam di tengah pasir isap menunggu tenggelam selamanya..”
            Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Tatapan si pria masih pada tempatnya dan tidak berpindah sejak tadi. Kemudian ia berkata seraya tersenyum teduh.
“Sudah?”
“Sudah.” Jawab si gadis bersepatu boot itu dengan mata berkaca-kaca.
“Sekarang ayo kita pulang.”
Dan sepeda motor pun melaju lagi menembus angin malam yang terasa sejuk dan segar.

19 January 2014
23:30

1 komentar: