Senin, 25 Mei 2015

Bi Eulis



"Anggur mah teu kénging kitu. Payunan tamu, ngaos Yassin, ngaos Qur'an.."
"Nya da rakana pupus waé ogé dugi ka pingsan. Komo deui ayeuna carogéna."

Percakapan ibu-ibu pagi itu membuat suasana sepi kota menjadi dingin dan tidak nyaman, seperti pakaian setengah kering.

Tapi istri mana yang tak tersiksa saat suami yang telah hidup bersama dan mengenyam setiap pelajaran hidup kini tidak hidup lagi. Terbujur kaku di ruang tamu, seluruh tubuh dan kepalanya ditutupi kain putih. Tanda bahwa nyawa tak lagi akan tampil di wajahnya.

Aku berjalan perlahan di belakang ibu-ibu yang malah bergunjing tentang tetangganya itu. Tidakkah lebih baik jika mereka mendoakan dengan tulus setelah pulang melayat orang meninggal, dan bukannya menambah daftar negatif dari sosok ibu-ibu penggosip.

Aku ingat benar mata Bi Eulis saat terbaring lemah ditemani anak perempuannya yang baru saja menghadiahinya cucu. Benar 'kan. Hidup itu mahal. Untuk melahirkan sesosok manusia baru, harus dibayar dengan kehidupan sebelumnya. Tidakkah kau pikir? Si cucu menggantikan kehidupan  yang sebelumnya. Dia mengambil kesempatan dari sang kakek. Kejam bukan?

"Aduh, karunya teuing.." kata mama saat pertama kali melihat kondisi Bi Eulis. Luka yang dirasakan Bi Eulis membawanya lebih dulu terkubur dalam kesedihan yang keterlaluan. Matanya menerawang. Berputar-putar tapi kosong. Seolah suaminya membawa serta jiwa Bi Eulis dan membiarkan fisiknya seperti zombie.

Tuhan membekali masing-masing manusia setengah organ tubuh yang paling rapuh yang disebut hati. Setengah, karena itu pun sudah cukup membuat otak dan organ lainnya hancur.
Kekuatannya besar sekali. Kau ingin tahu seberapa besar? Cukup besar sampai dapat menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati. Jangan tanya bagaimana maksudnya, kau pasti sering dengar berita di televisi atau yang beredar dengan mudah di internet.

Aku sampai di kantor hanya dalam waktu sepuluh menit hari ini. Lalu lintas sepi, kendaraan umum yang biasa aku tumpangi setiap hari entah kenapa melaju terlalu cepat kali ini. Aku ingat, hari ini hari ulang tahun sebuah konferensi besar yang katanya dirayakan setiap sepuluh tahun. Ulang tahun, kelahiran kembali. Pada hari yang sama berakhir kehidupan yang sebelumnya, diganti dengan kehidupan selanjutnya. Atau kehidupan yang lain.

Delapan jam berlalu sudah. Ruangan kering ber-AC itu berhasil membuat suasana kerja benar-benar menjemukan. Aku pulang berharap jalanan masih lengang seperti tadi pagi.
Tapi hujan ternyata..
Angin bergerak sungguh tak tentu. Semuanya jadi ikut tak tentu. Air hujan turun miring hingga payung kucondongkan agak ke depan. Jalanan sore ini tidak terlalu sibuk, hanya orang-orang yang berlarian takut kehujanan. Mereka seperti benci sekali pada hujan. Tidak seperti pada air pantai. Bukankah keduanya sama-sama air..
Dua puluh menit, dan aku sudah di bawah selimut sekarang.

Semuanya cepat sekali. Kau bahkan tak sempat berkedip.

Mungkin kusarankan kau untuk lebih sering melihat jam. Pukul berapa sekarang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar