Kamis, 04 Juni 2015

Bulan Curang

Bulan curang.
Kita tahu saat dia rapi sekali tanpa serat-serat awan itu, orang banyak yg jatuh cinta.
Lalu?
Sudah.
Susah.
Dia jauh. Tinggi.
Kita hanya berhak tahu bahwa matanya sedang merayu dari sana.
Elegan. Tapi menyebalkan.

Senin, 25 Mei 2015

Daily Worker's Heart

Karena bumi berputar pada porosnya, teratur.
Karena bumi mengitari matahari sesuai rotasinya, teratur.
Karena matahari pun membentuk tata surya, teratur.
Karena setiap keteraturan itu jika diganti akan menimbulkan benturan. Kerusakan.
Kemudian kehancuran.

Maka, tubuh manusia pun saat menemukan ketidak teraturan akan menuju kerusakan.
Cepat atau lambat.

New Entri

Seperti biasa tepat jam dua belas siang, begitu selesai adzan dzuhur, sebelum masuk kerja, uwi shalat dzuhur. Dan, entahlah.. Baru kali itu uwi merasa menikmati shalat. Uwi merasa ga perlu mengerti apapun. Nyaman.
Tenang.

Lumayan

"Apa kabar?"
"Lumayan."
Ups.. Jawaban itu ternyata sudah jadi standar bagi uwi. Ketika ada orang tanya kabar, selalu dijawab dengan, "lumayan". Keterbiasaan.

Seperti kemarin, di acara hajatan nikah teman seangkatan waktu kuliah. Ada teman lama yang menyapa, lama sekali tidak bertemu. Ketika ditanya kabar, uwi spontan jawab dengan "lumayan". Untungnya karena saat itu suasana berisik sekali dengan musik, dia kurang bisa dengar. Dia teriak, "Apa?!" Langsung uwi ralat jawabannya dengan teriak juga "Baik..! Kamu gimana..?!"
Ah, suasananya berisik sekali.

Lalu uwi ingat-ingat lagi penyebab uwi selalu menjawab dengan "lumayan" itu. Dulu uwi terlalu sibuk dengan hal-hal membingungkan. Sampai-sampai uwi terlalu jujur saat ada orang yang tanya kabar uwi. Kalau uwi jawab dengan "Baik", kenyataannya uwi sedang tidak merasa baik. Kalau uwi jawab dengan "Tidak baik", terdengar terlalu pesimis dan tidak enak kedengarannya. Akhirnya uwi ambil jalan tengah. "Lumayan".

Sekarang seiring dengan tuntutan uwi hidup semakin dewasa dan belajar profesional, uwi mulai harus mengganti "Lumayan" menjadi "Baik". Meskipun itu berarti uwi harus bohong atau pura-pura.
Miris ya..

Sekarang uwi mulai berpikir lagi. Apa uwi mulai jawab pertanyaan kabar itu dengan "Baik" secara jujur dan sesungguhnya, atau pura-pura.

Ini Hari Rabu

Ini hari rabu. Hari yang sangat terik dan cocok untuk berdiam diri di rumah sambil makan kue coklat dan jus buah. Tapi..apa mau dikata. Hari ini uwi harus berangkat kerja dan menempuh perjalanan yang sibuk dan panas.
Terlalu malas untuk bergerak...
Dua jam menuju waktu kerja.. Satu jam menuju waktu kerja..
"Akh..! Ga boleh gini terus!" seru uwi dalam hati.
Hari ini hari rabu. Hari favorit uwi. Dan ini jam sebelas siang. Saat matahari sedang terang-terangnya. Saat cucian uwi semalam bisa cepat kering. Saat kucing-kucing bergulingan mandi pasir di lapangan. Saat Mas baso dikerubuti ibu-ibu tukang jajan. Saat angin bergerak begitu semangat. Saat pohon-pohon berdiri tegap dengan begitu sombong. Saat klorofil pada daun dan matahari memasak makanan bersama supaya menghasilkan tenaga. Dengan tenaga itu pohon yang tinggi akan semakin sombong lalu merentangkan tangan-tangannya sampai ke setiap arah. Jadi jalanan yang hampir berfatamorgana itu punya bayangan sejuk di bawahnya, tempat kakek tukang patri duduk sebentar sebelum jalan kaki lagi. Selain itu, dengan adanya energi, daun-daun itu dapat menyambung kehidupan.
Pukul dua belas kurang tujuh belas menit, uwi sampai di tempat kerja. A Agung berseru, "Uwi! Siga nu hudang saré.." Uwi jawab, "Memang.."
Memang uwi baru bangun tidur tapi yang penting uwi sudah bangun 'kan..
Sudah tidak tidur lagi.

Kuesioner

Pagi agak siang.
Ada bapak manajer .
"Nih, kuesioner."
"Dari mana, Pak?"
"Isi saja. Jangan lupa isi kolom nomor telepon dan email. Nanti akan diundi. Siapa tahu menang, dapat voucher belanja."
Itu cukup menarik, pikir uwi. Diisilah kemudian kolom-kolom itu. Satu persatu. Pertanyaan standar. Sampai pada satu pertanyaan. Kali ini tidak bisa dibilang standar..
Tertulis,
"Kepuasan dalam menjalani kehidupan."
Uwi harus pilih antara,
"sangat puas, puas, biasa saja, tidak puas, sangat tidak puas"
Ini..apa?? Pertanyaan yang sungguh kompleks.

Wahai tuan penyusun kuesioner, kau bercanda?

Injak Bulan

Pagi ini, di tempat kerja. Turis asing dari Belanda datang ke Indonesia untuk jalan-jalan. Menikmati masa tua sepertinya.

Saat itu ada kakek bule. Perutnya gendut. Jalan pelan-pelan menuju teman-teman rombongannya. Sebelum berkumpul, beliau memanggil uwi.
"Selamat pagi." Bahasa Indonesianya bagus, tapi aksen khas Belandanya kentara sekali.
"Selamat pagi" uwi balas dengan senyum paling tulus saat itu.
"Apa kabar?"
"Oh, baik sekali. Terimakasih. Bagaimana dengan bapak?"
Tidak dijawab lagi. Mungkin pelajaran bahasa Indonesianya belum sampai situ.
"So, Yurry.." Beliau membaca name tag yang ditempel di dada kiri uwi. Sudah usang, jadi perlu waktu lebih dari satu detik untuk membacanya.
"Yes, Sir." Dan percakapan dilanjutkan dalam bahasa Inggris.
"Namamu, Yurry. Kau mengenal Yuri Gagarin?"
"Ya, Pak. Dia astronot, bukan?"
"Dia orang pertama yang menginjakkan kaki di bulan."
"Ya."
"Kenapa namamu Yurry?"
"Mm.. Ini pemberian ibu saya."
"Kau pernah tanyakan mengapa ibumu memberimu nama itu?"
"Ng.."
Tiba-tiba, kakek pirang itu menyentuh tangan uwi dengan telapak tangannya yang keriput. Lembut sekali. Katanya, "Little darling, kau cantik sekali. Ibumu tak salah memberi nama itu."
"Hm..? Heu..?" jawaban apapun sepertinya tidak cocok untuk kakek tua ini. Dia senyum, dan pergi sambil terbungkuk-bungkuk. "Ah, kakek, ga nyambung.." kata uwi dalam hati.

Tapi, Kek. Mama memang tidak salah memberi uwi nama. Suatu saat uwi akan injakkan kaki uwi di bulan seperti Yuri Gagarin. Setidaknya, bulan dalam dunia uwi. Bulan itu tidak jauh. Hanya belum sampai saja.

Bi Eulis



"Anggur mah teu kénging kitu. Payunan tamu, ngaos Yassin, ngaos Qur'an.."
"Nya da rakana pupus waé ogé dugi ka pingsan. Komo deui ayeuna carogéna."

Percakapan ibu-ibu pagi itu membuat suasana sepi kota menjadi dingin dan tidak nyaman, seperti pakaian setengah kering.

Tapi istri mana yang tak tersiksa saat suami yang telah hidup bersama dan mengenyam setiap pelajaran hidup kini tidak hidup lagi. Terbujur kaku di ruang tamu, seluruh tubuh dan kepalanya ditutupi kain putih. Tanda bahwa nyawa tak lagi akan tampil di wajahnya.

Aku berjalan perlahan di belakang ibu-ibu yang malah bergunjing tentang tetangganya itu. Tidakkah lebih baik jika mereka mendoakan dengan tulus setelah pulang melayat orang meninggal, dan bukannya menambah daftar negatif dari sosok ibu-ibu penggosip.

Aku ingat benar mata Bi Eulis saat terbaring lemah ditemani anak perempuannya yang baru saja menghadiahinya cucu. Benar 'kan. Hidup itu mahal. Untuk melahirkan sesosok manusia baru, harus dibayar dengan kehidupan sebelumnya. Tidakkah kau pikir? Si cucu menggantikan kehidupan  yang sebelumnya. Dia mengambil kesempatan dari sang kakek. Kejam bukan?

"Aduh, karunya teuing.." kata mama saat pertama kali melihat kondisi Bi Eulis. Luka yang dirasakan Bi Eulis membawanya lebih dulu terkubur dalam kesedihan yang keterlaluan. Matanya menerawang. Berputar-putar tapi kosong. Seolah suaminya membawa serta jiwa Bi Eulis dan membiarkan fisiknya seperti zombie.

Tuhan membekali masing-masing manusia setengah organ tubuh yang paling rapuh yang disebut hati. Setengah, karena itu pun sudah cukup membuat otak dan organ lainnya hancur.
Kekuatannya besar sekali. Kau ingin tahu seberapa besar? Cukup besar sampai dapat menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati. Jangan tanya bagaimana maksudnya, kau pasti sering dengar berita di televisi atau yang beredar dengan mudah di internet.

Aku sampai di kantor hanya dalam waktu sepuluh menit hari ini. Lalu lintas sepi, kendaraan umum yang biasa aku tumpangi setiap hari entah kenapa melaju terlalu cepat kali ini. Aku ingat, hari ini hari ulang tahun sebuah konferensi besar yang katanya dirayakan setiap sepuluh tahun. Ulang tahun, kelahiran kembali. Pada hari yang sama berakhir kehidupan yang sebelumnya, diganti dengan kehidupan selanjutnya. Atau kehidupan yang lain.

Delapan jam berlalu sudah. Ruangan kering ber-AC itu berhasil membuat suasana kerja benar-benar menjemukan. Aku pulang berharap jalanan masih lengang seperti tadi pagi.
Tapi hujan ternyata..
Angin bergerak sungguh tak tentu. Semuanya jadi ikut tak tentu. Air hujan turun miring hingga payung kucondongkan agak ke depan. Jalanan sore ini tidak terlalu sibuk, hanya orang-orang yang berlarian takut kehujanan. Mereka seperti benci sekali pada hujan. Tidak seperti pada air pantai. Bukankah keduanya sama-sama air..
Dua puluh menit, dan aku sudah di bawah selimut sekarang.

Semuanya cepat sekali. Kau bahkan tak sempat berkedip.

Mungkin kusarankan kau untuk lebih sering melihat jam. Pukul berapa sekarang?