Senin, 08 Februari 2016

Banyak Sayang untuk Momon


Menurut uwi, kita hanya tetesan air hujan yang jatuh ke tanah yang sama.

Tadi sore uwi bertemu seseorang yang baru. Namanya Momon. Fabian memanggilnya Om Momon.
Di sela-sela kegiatan menggambar kami, Fabian berbisik di telinga uwi, “Sst.. Dia cacat.”
Rambut Momon sudah beruban namun angannya tetap di usia enam tahun.
Momon tidak menikah, tapi di hatinya selalu ada Ian, panggilan sayang untuk Ibu Dian, ibunya Fabian. Teman bermainnya sewaktu kecil.

Ibu Dian terus tumbuh dewasa, sudah dua kali menikah dan sudah punya dua orang anak. Tapi Momon tetap bermain kejar-kejaran dan tertawa, dan selalu sayang Ian. Tetap selalu ingin tahu dan ingin memeluk siapapun yang ia sayangi.

Momon selalu lucu. Selalu membuat orang tertawa.
Momon tidak peduli tentang sebab tawa itu. Apakah karena Momon pandai melucu atau karena mereka menertawakan Momon.
Momon hanya bahagia jika melihat orang tersenyum dan tertawa.

Momon pria spesial yang baik hati dan polos.

Momon hanya ingin berbagi tawa dan berbagi ‘Sayang Momon’ untuk semua orang.
Momon tidak memikirkan kantor atau uang. Satu-satunya nafsu yang ia miliki adalah nafsu makan.
Dan Momon bilang bagus pada gambar buatan Fabian.
Momon selalu menjadi anak-anak.

Tapi uwi sangat sedih saat melihat Momon sedih. Momon sedih karena malam itu dia harus pulang.
Dia tidak mau melambaikan tangan, atau mengucapkan salam perpisahan atau bahkan menoleh.
Momon berlalu dan kami hanya bisa melihat punggungnya semakin menjauh.
Momon sedih jika mengucap salam perpisahan.
Momon sedih tidak bisa main kejar-kejaran lagi, tidak bisa peluk ‘Sayang Momon’ lagi, tidak bisa tertawa bersama lagi.

Momon sayang semua orang.
Fabian sayang Momon meskipun tidak mau dicium pipinya.
Uwi sayang Momon. Semua sayang Momon.
Itulah sosok dewasa dalam diri Momon.

Banyak sayang untuk Momon.

14 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar