Jumat, 28 Februari 2014

Sol Tebal dan Uban Janggut

Tadi sore, saat hujan sedang pura-pura tidak tahu apa-apa. Saat matahari mengalah saja.

Uwi bertemu (tepatnya melihat) seorang muda dengan sepatu yang sama tebal, celana yang sama ketat, rambut yang sama panjang. Bedanya hanya dia laki-laki dan uwi perempuan.
Uwi yakin dia juga melihat uwi, karena kami menyeberang di tiga zebra cross yang sama, menelusuri trotoar yang sama, dan menunggu di halte yang sama.
Dia terlihat tidak nyaman dengan uwi yang (tidak sengaja) menguntit dari belakang.
Mau bagaimana lagi? Jalur kami sama. Tapi wajahnya penuh keresahan. Berlebihan…

Kami menunggu angkot dengan jurusan yang sama di sebuah halte. Dan kami masing-masing bertemu dengan orang yang bisa diajak bicara.
Dia bertemu dengan teman-temannya yang melintas di depan kami dengan sepeda motor.
Uwi berbincang dengan seorang bapak penjual air mineral di halte itu.



Mari lupakan sejenak laki-laki dengan wajah penuh keresahan itu.

Uwi berbincang dengan bapak penjual air mineral tentang hutan kota yang berada di belakang kami.
Katanya banyak penggemar fotografi yang datang ke sana. Ada pula orang-orang yang membuat acara musik. Katanya malam ini juga akan ada.
Nada bicaranya seperti menyuruh uwi datang ke sana..

Kemudian obrolan berlanjut sampai ke kehidupan pribadi masing-masing.
Dia bilang dia sudah punya banyak cucu. Uwi bilang uwi sudah selesai kuliah dan sekarang sedang ingin kerja.
Namun katanya lagi dengan tiba-tiba, “Iyalah.. Enakan kerja dulu, baru nikah.”

Sejenak itu terdengar biasa, tapi setelah beberapa saat mengingat usia uwi yang sudah tidak remaja lagi, itu jadi hal serius. Bukan karena uwi belum juga menikah, tapi karena ternyata pandangan bapak tua ini tidak setua uban di jenggotnya.
Sayang angkot yang tadinya ditunggu akhirnya datang.
Uwi pergi dengan angkot dan melambaikan tangan ke arah si bapak.
Seakan uwi sudah mengenalnya lebih dari sekedar lima menit di bangku halte.
Di angkot, uwi tersenyum. Seperti baru saja usai bertemu kekasih.

Sore yang basah tadi terasa indah. Entah kenapa.


Cukup lama uwi di dalam angkot memperhatikan setiap tetes hujan yang meluncur dari balik kaca jendela.
Selain penumpang yang mengangguk-angguk kepala karena mengantuk, ada embun tebal hasil napas kami penumpang yang melekat di kaca jendela. Bukti bahwa kami hidup.

Tibalah kemudian angkot di tempat tujuan. Uwi meloncat keluar dengan segera.
Payung kesayangan segera dibuka dengan cekatan.
Langkah pertama dibuat.
Air genangan terciprat dengan lincah dari bawah sol sepatu.

Tiba-tiba uwi ingat lagi sol sepatu laki-laki berambut panjang dengan wajah resah itu.
Sepatu kulit cokelat muda dengan sol hitam yang terlihat lebih tebal dari lutut kakinya sendiri.
Dan baru uwi sadari sekarang, dia mempertahankan rokoknya terus menyala di bawah hujan.

Apa dia tetap mempertahankan rokok menyala di bawah hujan?
Apa dia juga sedang mencipratkan genangan hujan dengan sol sepatunya?


28 Februari 2014

Senin, 24 Februari 2014

"Kuangkat rambut tinggi-tinggi"


Pagi ini tidak ada telur dadar. Bahkan tidak segelas air hangat.

Di meja yang dingin itu dia duduk seorang diri.
Oh, dia tidak sendiri, dia bersama untaian lamunan.

Dia memoles kuku di tangannya dengan cat warna coklat.
Dia bisa pilih warna lain yang lebih cerah.
Tapi coklat itu manis, pikirnya.

Itu pasti karena coklat telah bertemu gula dan susu.
Tapi tetap bisa diresapi pahit di dalamnya.

Kukunya kini berwarna coklat. Tapi terus ia poles lagi dengan cat hingga bertumpuk.
Tebal dan pekat.
Mengkilat.
Daging di bawah kukunya hilang tersembunyikan.

Pagi ini ia ingin menyentuh rasa.
Pahit kopi misalnya.
Sayang, hanya ada asam.

Pagi ini tengkuk kurusnya lebih menonjol, melengkung, tertekuk.
Kepalanya seakan menggantung.
Terkulai.
Seperti kuncup bunga yang terlanjur dipetik.
Kering layu.

Keningnya berkerut.
Pangkal tenggorokannya berkata,
"Ini dunia yang tak kau mengerti."

24 Februari 2014 pukul 10:02

Rabu, 19 Februari 2014

Gejala


Aku hampir bosan mengungkap ini. Tapi inilah..

Kau tahu anak panah?
Matanya yang segitiga menusuk dan sulit dicabut.
Semakin kau coba mencabutnya kembali, semakin mengoyak dan berlipat ganda sakitnya.

Ia menusuk ulu hatiku.
Atau mungkin di jantung.
Tapi bisakah kau jelaskan padaku apa nama tempat di dalam dada yang lebih dalam dari semua darah dan tulang itu?
Atau setidaknya bukan panah yang melukaiku, tapi tekanan.
Tekanan akan sebuah sesuatu.
Atau mungkin bisa kau bantu aku mengenai sesuatu itu?

Begini, aku pinjam kata-kata seru dari berbagai sumber untuk menyusun ini cukup lama:

'Di malam yg busuk, aku hanya seorang yang lupa bahwa dalam hidup tidak ada tombol mengulang.
Meski rasanya ingin aku marah dan menguburnya lebih dalam dari mati.
Dan pada itu tiada ampun.'

Sungguh malam yang alot.

19 Februari 2014 pukul 23:16

Minggu, 09 Februari 2014

Buttons of Life


Hai, inilah aku manusia dengan tombol.


Sayangnya padaku hanya ada satu tombol "PLAY/PAUSE" dan satu tombol "LOVE".
Dan lebih disayangkan lagi, tombol-tombol itu hanya menempel tanpa bisa ditekan.
Karena sampai saat ini belum ada reaksi apa-apa, aku tetap bergerak.

Tidak ada saat dimana aku masih belum di "ON"-kan. Atau mungkin "STAND BY" atau "OFF".
Tidak ada lampu atau layar indikator yang bisa mendeteksi status atau kondisiku.

Kukira aneh, karena bahkan tombol "POWER" pun tidak ada.

Baiklah, aku harap minimal tombol "PLAY/PAUSE" itu bisa digunakan suatu saat.
Aku ingin tahu apa yang akan terjadi.





9 Februari 2014 pukul 11:40