Rabu, 12 Maret 2014

Catatan Kecil Untuk Ade



                Malam itu Dwi pulang dan mendapati ibunya seperti biasa duduk di sofa ruang tamu menunggu anaknya pulang. Kali ini sudah berkumpul semua anggota keluarga kecil itu. Dwi membuka daun pintu rumah tanpa salam. Segera dari arah dalam ibunya berseru, “Akhirnya anak ibu pulang juga..” Dwi melepas sepatunya dengan sangat lambat kemudian langsung masuk ke kamar dan membantingkan tubuhnya ke tempat tidur. Seperti biasa pula terdengar teriakan ibunya dari luar pintu kamar,
“Dwi.. Ade.. kalau mau makan ada sup ayam dan sosis goreng tuh, cepat makan mumpung nasinya masih hangat!”
                Dwi hanya diam dan meringis. Sejak satu jam sebelum pulang kantor tadi ia merasa ada yang tidak beres dengan perutnya. Mual, melilit. Di kamar itu ada Ade, adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMA . Mereka tidur sekamar sejak kecil bahkan satu tempat tidur.
                “Kak Dwi Jelek.. bawa apa?”, sebuah pertanyaan rutin dari Ade yang selalu muncul ketika Dwi pulang kerja, berharap Dwi membawa kue atau buah-buahan untuk camilan sebelum tidur. “Ngga bawa apa-apa. Kakak sakit perut, ingin tidur.” Jawab Dwi dengan cepat. Ia sudah tidak tahan karena mual di perutnya  serasa menjalar ke seluruh tubuh membuatnya jadi lemas dan sakit kepala. “Masuk angin itu, Dwi! Cepat minum obat!” teriak ibunya. Rupanya keluhan tentang perut tadi terdengar juga oleh ibunya. Dwi hanya ingin merebahkan tubuh dan atur napas sampai tenang.
                Ia mulai berpikir, mungkin saja sakit perut ini bukan benar-benar sakit perut. Bukan benar-benar mual, tapi muak. Muak dengan segala macam pekerjaan yang menuntutnya menjadi orang lain. Hari ini telah berlalu begitu panjang dan berat. Lagi ia merasa tidak sanggup menjalani pekerjaan yang harus ia hadapi di kantor. Pekerjaan yang selama ini ia lakoni hanya untuk memenuhi kebutuhan dan membanggakan orang tuanya. Padahal ia akan merasa bangga kalau suatu saat anaknya berani mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. “Ah..!” pikirannya mulai melatur lagi. “Kapan pula aku punya anak? Menikah saja belum tentu..” katanya dalam hati.
                Ia punya mimpi untuk menjadi seorang penari. Penari yang berbakat. Yang bisa memancarkan kebahagiaan dan semangat hidup kepada setiap orang. Setiap gerakan yang ia buat selalu sepenuh hati dan mengalir dengan indah. Tapi, kenyataannya saat ini ia sedang berbaring di kasur menunggu matahari terbit dan kembali bekerja di kantor yang memuakkan itu. Matanya terpejam dan larut dalam tidur.
                Beberapa menit kemudian ia terbangun lagi karena mendengar isak tangis dari adiknya yang berbaring di sampingnya. Dwi tidak pernah bertanya sebab, atau menenangkan, apalagi membujuk adiknya saat sedang menangis. Kadang Dwi merasa menyesal telah menjadi kakak yang tidak peduli terhadap adik kandungnya sendiri. Tapi Dwi dan adiknya sama-sama mengerti bahwa tangis adalah hal paling jujur dari mereka. Hal yang tidak bisa ditutupi tapi juga tidak perlu diumbar. Menangis adalah saat paling penting yang juga harus diresapi, dinikmati, dan dihargai. Dwi hanya diam dan berpikir, seandainya ia seorang penari, ia bisa menjadi jujur tanpa harus menangis. Ia pura-pura diam tidak mendengar dan berusaha tidur lagi.        
                Pagi hari alarm berbunyi membangunkan Dwi untuk bersiap pergi ke kantor, untuk bekerja lagi. “Untuk melakukan kebohongan lagi” katanya dalam hati. Kali ini ia tidak langsung bangkit, ia berpikir untuk membolos. Alasan yang muncul darinya adalah, toh ke kantor hari ini hatinya tak terbawa. Hatinya selalu tertinggal di panggung tari. Panggung tempat ia bisa jujur tanpa harus menangis. Sejenak terbersit keinginan untuk berhenti bekerja, tapi itu hanya akan membuat keadaan semakin sulit.
                Tiba-tiba ia mendengar adiknya menangis lagi, kali ini lebih keras. Mendengar adiknya menangis, ibunya datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa?” tanya ibunya.
“Aku ngga mau sekolah lagi, Bu..”
Lho, kenapa?”
“Aku ngga mau sekolah karena teman-teman di sana selalu ejek aku karena aku pergi ke sekolah jalan kaki, bukan diantar mobil pribadi yang ada supirnya! Aku kesal, Bu..” Ibunya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Biarkan saja mereka. Mereka hanya anak-anak manja. Dan kalau kamu lulus nanti kamu bisa cepat dapat kerja seperti kakakmu. Dan bisa beli mobil sendiri.”
                Dalam hati Dwi meringis, ya ampun, dia sendiri saja belum bisa beli mobil, pikirnya. Tiba-tiba alarm berbunyi lagi, tanda tiga puluh menit waktu tersisa sebelum jam masuk kantor. Dwi benar-benar muak dengan keadaan ini. Ia segera mengirim pesan ke bosnya di kantor menyatakan bahwa hari ini dia sakit dan tidak bisa masuk kerja. Mual di perutnya sudah mereda tapi muak di benaknya tidak bisa tertahan.
                Dwi pergi ke kamar mandi untuk menyejukkan tubuh dan kepala dengan air dingin. Ia masih berharap seiring dengan mengalirnya air di tubuhnya, terbuang juga segala kesulitan hidup yang ia alami. Tapi kemudian ia selalu sadar bahwa masih banyak kehidupan lain yang lebih sulit. Sungguh suatu hal yang tidak sesederhana tiupan angin, pikirnya.
                Usai mandi Dwi melihat kamar sudah kosong, tidak ada Ibu, tidak ada Ade. Dwi lalu bertanya kepada Ibu.
“Ade kemana, Bu?”
“Sekolah.” Jawab ibunya dengan singkat. Terasa sekali nada berat di suaranya. Sambil terus mengiris tomat, ibunya tidak sedikitpun menoleh. Dwi tahu, itu karena ibunya tidak ingin ia melihat kekecewaan di wajah ibunya. Dwi hanya diam setelah itu dan masuk ke kamar untuk bersiap ke toko kue. Ada kue ulang tahun yang ingin dia beli.
                Sebelum pergi, ia sobekkan secarik kertas kecil dan mengambil sebuah bolpen dari saku bajunya. Ia menulis sesuatu di kertas kecil itu dan menaruhnya di atas meja di dekat Ade biasa duduk melepas sepatunya sepulang sekolah.
Sebuah catatan kecil yang ditulis seorang kakak perempuan kepada adik perempuannya, tentang kehidupan.


“Ade, hidup bukan pilihan.Tapi kau masih bisa memilih untuk membahagiakan orang tuamu. Selamat ulang tahun.
Dari Kak Dwi Jelek”


Selasa, 11 Maret 2014

Terimalah, ini untuk kita


Tiba saatnya nanti.

Akan tiba saatnya kita menyesal. Menyesal karena ingin menangis meraung-raung dan meratapi bahwa masa tidak akan kembali lagi. Dan kita hanya bisa menahan.

Tidak akan memberi kita kesempatan untuk tersenyum dan tertawa lagi. Untuk bermain payung di bawah hujan. Untuk berpikir gila dan menggila lagi.

Tiba saatnya kita sulit bahkan untuk menghela napas lega. Kita hanya bisa berusaha diam dan menambal luka di ulu hati. Bagian kosong yang tak 'kan terisi apapun, dan hingga ada titik penghabisan pun masih belum habis.

Menusuk, merambat, menjalar, mengerat seluruh bagian batin. Menggores dengan tinta perak yang menembus lapisan jiwa. Mengoyak setiap sayatan hingga terbuka puncak nyeri tak berkesudahan.

Tiba saat kaki tak 'kan mampu menopang beban benak diri. Saat mata lebih luas dan jelas melihat di balik kelopak. Saat setiap hembus angin yang menyentuh rambut halus di wajahmu selalu membawamu melayang ke sana lagi.
Ke tempat dan saat kau mensia-siakan setiap kedip matamu.
Ke masa saat jiwamu masih berdiri.

Ke masa saat matahari adalah milik kita. Milikmu.


11 Maret 2014 pukul 9:50